Friday, September 25, 2009

Peristiwa 16 Desember



Aku masih saja duduk di kursi reyot itu, ketika subuh memanggil kabut turun menyusuri tulang-tulang kesepian. Segelas kopi jahe dingin tinggal dua seruput, tak kan kusiakan. Bersama kesendirian itulah aku bernyanyi mengingat masa muda yang hilang bersama kesibukan.

Entah apa yang ada diantara semangatku, tampak semuanya diam membisu, jika kutanyakan pada ingatan, "Kenapa begini?"

Kamu, aku, dia, mereka, kami... semua bermain. Satu persatu menampakkan dirinya dalam wujud abu-abu. Kadang putih memudar, kadang hitam kelam, semuanya memainkan drama kehidupan dalam babak-babak pendek dan episode yang teramat singkat. Tanpa sadar, butiran air itu turun dari pelupuk mata, bukan dari ujung daun-daun kering halaman rumah. Tetes demi tetes mengalirkan keputus-asaan, kenyataan seorang pengecut, pecundang, dan semua bentuk kekalahan yang hanya dibenarkan oleh alasan.

Dua belas tahun bersama ingatan. Nampak seperti teka-teki. Tiap bagiannya perlu keberanian untuk sekedar menulis huruf A untuk maksud yang masih dipertanyakan.

Yah, aku mengerti. Alasan demi alasan bagaikan menanam angin di padang rumput bukit cita-cita. Tinggal menunggu badai yang akan datang saat panen kekecewaan.

Sudahlah mataku, mari kita beranjak dari dinginnya delapan belas derajat amarah ini. Egoisme hanya akan membuat kita kehilangan akal. Marilah mataku, mari kita bersahabat dengan selimut dan bantal guling.

Lihatlah, sinar pagi mengintip malu-malu. Kita hanya tamu tak diundang dalam semarak hari ini. Mari kita bermimpi.