Monday, September 11, 2006

Simpang Lima Sisi Penjara

Dan malam,
Ketika tersungkur dalam curamnya makna, kejujuran adalah peti mati bagi jiwa. Deru angin bukan tantangan, lebih berarti di pucuk-pucuk daun harapan baru cita-cita. Sejengkal bisa bertahun-bertahun untuk dilewati, karena ragu bagai monster lapar. Adakah kebaikan itu didalam sebuah pundi kearifan, atau kearifan sendiri sudah dikunci dalam peti harta Sang Raja ?
Lalu siapa berikutnya ?
Kapan ?
Satu makna saja takkan cukup untuk mengartikan semua itu dalam secuil rindu, pada waktu, detik yang telah dilalui, jarak yang terlintasi, jalanan penuh debu kenangan.
Semua takkan hilang, jika masih kita simpan. Dalam bentuk apapun, tetap saja ada ingatan.
Kecuali Tuhan,
Tak ada kehendak yang patut disangkakan.
Kecuali diri kita,
mau memasang kuda-kuda, dan berlari menerjang palang.
Menari diatas rumput-rumput yang bersorak kemenangan, bagai tentara di medan laga. Tak ada yang tak ada, tak bisa untuk tidak bisa, tak mau mengatakan tidak mau. Bagi Si Jalang, Si Curang, Si Pengecut, dan siapapun yang berbaju untuk menipu dirinya sendiri. Kita bukanlah lawan!
Karena semangat sudah dimuat. Besok sambutlah pagi, katakan pada burung-burung pembawa gosip dan berita, “Aku bukan yang dulu, bukan diantara seribu itu.“
Genggam erat kunci itu, didepan setelah belokan pertama kearah cahaya, . . . ada masa depan.
Nah . . .,
disana juga ada Lupus-Lupus yang lain, bahkan monster ganas, ada lagi peri-peri kejam dan kurcaci bengis mengintai.
Hati-hati,
ucapkan mantra ini “Aku pasrah pada-Mu Tuhan yang menciptakan dan yang menghilangkan.“.